Fictions Enroll

Komik Terbaru

"Yang Tak Pernah Terucap"

Cinta pertama yang takan kulupakan, hanya akan ku kenang


Bersama rintik hujan yang jatuh membasahi tanah kering, lamunanku terbang jauh kembali
pada kenangan manis 10 tahun silam.



~~~~~~~~~~


Jayapura, 2009.

Namaku Putri. “Putri Divani”, gadis remaja 16 tahun. Anak tunggal dari pasangan serasi yang sangat aku banggakan, lelaki hebat dan romantis bernama Rendi Nugroho yang dengan penuh hormat dan sayang ku panggil ‘Papa’ dan seorang wanita yang selalu lembut membelai rambutku bernama Vania Purnama yang dengan penuh hormat dan cinta ku panggil ‘Mama’.

Aku siswi Sekolah Menengah Atas, duduk dibangku kelas 11 disalah satu sekolah negeri di Jayapura. Ketua kelas yang selalu dibuat pusing kesana-kemari oleh para anggota yang luar biasa kompak menjalani keseharian di kelas. Gadis dengan rambut hitam pendek sebahu, tinggi badan 160 cm, berat badan 50 kg, pupil mata yang hitam kecokelatan dan memiliki lesung pipi yang menambah nilai plus untuk senyumku (kata orang-orang sih).

Aku memiliki 2 sahabat terbaik yang pernah ada dalam hidupku yaitu Vera dan Saskia. Yup! Kami adalah sahabat sejak berada di sekolah dasar hingga saat ini. Persahabatan yang lebih dari 7 tahun ku rasa kami sudah sangat mengenal satu sama lain. Masing-masing dari kami dengan kisah hidup yang unik dan berbeda-beda. Mulai dari kerja kelompok, jalan-jalan hingga menginap saat akhir pekan dirumah salah satu dari kami secara bergantian (kebetulan kami bertiga adalah tetangga. Hihihi). Meski kita sekompak itu, namun aku sedikit berbeda nasib dalam hal percintaanku. Ya, cinta pertamaku tak seindah mereka berdua.

Entahlah, kalianpun akan menertawakanku atau tidak aku memang belum pernah merasakan yang namanya pacaran hingga saat ini. Tetapi, bukan berarti aku mati rasa dalam hal ini. Walau terkesan cuek aku memendam sebuah perasaan yang mendalam pada seseorang. Jerry, kak ‘Jerry Leticio’. Sosok yang sudah ku kagumi sejak menginjakkan kaki di sekolah ini. Kakak kelas yang ku kenal baik
hati dan hebat dalam olah raga basket. Ku akui dia tak setampan dan sesupel kak Revan si ketua OSIS yang juga teman kelasnya, tetapi kak Jerry mempunyai daya tarik tersendiri dimataku. Mereka duduk dibangku kelas 12 saat ini. Itu artinya, sudah setahun lebih aku mengaguminya diam-diam. Dan hal ini tak diketahui oleh siapapun, SIAPAPUN termasuk Vera dan Saskia karena benar-benar ku simpan rapat-rapat.

Hingga pada suatu hari, aku tak sengaja menaruh buku harianku di atas meja belajar di kamarku dan sialnya si Vera menemukan dengan mudah foto dan tulisan-tulisanku tentang sosok kak Jerry yang begitu ku sukai. Entah mengapa aku lupa menyimpan buku itu didalam lemari. Yah.. Mungkin sudah saatnya Vera mengetahuinya.

      “Hah? Jadi kak Jerry?” kata Vera terkejut sambil melihat foto kak Jerry.

      “Ih.. Jang begitu weee! Sini kas kembali!”

Aku mencoba merebut kembali buku harianku tetapi tak terjangkau akibat tangan Vera yang panjangnya mengalahkan tongsis alias tongkat narsis.


      “Oh tidak bisaaaaaaaaa. Ko jelaskan dulu kenapa bisa begini.”

      “Memangnya tidak boleh?” tanyaku pada Vera.

      “Bukan begitu Put. Masa satu tahun lebih baru tong tra tau tu.”

      “Iyo.. Bisa tu ko simpan sampe tong baru tau ni.” sambung Saskia.



Dan akhirnya dari situlah rahasia besarku terkuak pada dua sahabatku. Akupun tak bisa lagi mengelak dan dengan lemah aku mencurahkan segala isi hatiku.


      “Tapi janji e jang kam kasih tau sama dia” kataku mengakhiri curhat.

      “Sa tidak bisa janji” kata Vera.

      “Sa juga Put, sa tidak bisa janji.” sambung Saskia tanpa ragu.

      “Jangan begitu. Sa cuma mau mengagumi saja. Sa tidak mau dia tau.”


Ini yang ku takutkan. Aku ingin mengagumi kak Jerry hanya untuk hatiku sendiri tanpa ada yang tahu agar tak ada yang mengganggu perasaanku sedikitpun. Supaya aku bebas menikmati masa indahku ini walau aku sendiripun tak tahu sampai kapan aku akan memendamnya.


----


Hari berlalu, minggu berlalu, bulanpun berganti. Tak terasa sudah 3 bulan terlewatkan semenjak buku harianku terciduk oleh para pengacau kamarku. Tiba-tiba, dihari sabtu saat jam istirahat di sekolah seseorang menghampiriku di kelas.


      “Hai Putri...” sapa kak Jerry lembut terdengar ditelingaku.

      “Eh.. Hai juga kak!” balasku, sambil memberi senyum terbaik. Hahaha.

      “Nanti sore ko sibuk tidak? Kita jalan-jalan ayo.” kata kak Jerry.

      “Hmm tidak sibuk sih kak. Bisa juga. Mo jalan-jalan kemana?”

      “Rencananya sa mo cari kado buat sa mama pu hadiah ulang tahun. Ya skalian sih mo minta
  
        tolong ko temani biar bantu pilih-pilih. Soalnya sa bingung mo kasih kado apa.” jelasnya.

      “Oh begitu. Oke sip kak nanti sa temani.” sekali lagi ku lemparkan senyum.

      “Oke sudah. Nanti sa jemput di rumah jam 4 ya.”

      “Iya kak.” jawabku cepat dan tangkas.


Lalu lonceng berbunyi tanda jam istirahat berakhir. Kak Jerry kembali ke kelasnya dan akupun melanjutkan pelajaran berikutnya dengan rasa tak sabar ingin cepat pulang dan menunggu pukul 4 sore.


----



Jam dinding di kamarku menunjukkan pukul 15.30 WIT. Aku sudah rapi dengan baju kaus oblong biru dan celana panjang jeans kesukaanku. Sembari menunggu kak Jerry, aku memilih bersantai sambil menemani Mama dan Papa yang sedang menonton TV di ruang keluarga.


      “Wuih.. Sudah rapi mo kemana nih?” tanya Mama sambil senyum-senyum.

      “Sa minta ijin ya Ma, Pa.. Mau keluar sebentar sama kak Jerry.”

      “Mau kemana?” tiba-tiba Papapun ikut bertanya.

      “Kak Jerry mau cari kado ultah buat mamanya. Makanya dia minta sa temani.”

      “Cie memangnya ko spesialis pilih kado kah jadi dia ajak ko?” balas Papa.

      “Ah Papa nih.. Kan dia minta tolong jadi apa salahnya sa bantu.”

      “Tapi papa lihat akhir-akhir ini sama dia terus keluarnya.”

      “Ah iyo kah? Papa diam-diam perhatikan juga cieee..”

      “Iyo to papa juga kan pernah muda hahah” jawab Papa sambil tertawa jahil.

      “Ih Papa nih..” aku tersipu malu.

      “Itu teman apa teman?” lanjut papa sambil mengedipkan mata ke Mama.

      “Teman, Pa. Teman dekat maksudnya hahaha” Mama merespon sambil mengedipkan mata, isyarat membalas gurauan Papa.

      “Ih apa nih.. Kenapa jadi Mama dan Papa yang tanya-jawab.” jawabku kesal tapi malu. Yah, malu-malu kuciiiiiing.


Bel rumah berbunyi. Cepat-cepat aku berlari ke ruang tamu untuk membukakan pintu. Dan yup! tebakanku benar, kak Jerry datang menjemput. Terlihat tampan dengan baju kaus hitam bertuliskan ‘J’, celana panjang jeans dan sepatu adidasnya yang membuat dia terlihat sangat casual.


      “Selamat sore Putri” sapa kak Jerry melemparkan senyumnya.

      “Selamat sore juga kak, mari masuk” balasku.

      “Iya, Put. Makasih.” sambil berjalan masuk ke ruang tamu.

      “Duduk dulu kak, tunggu sebentar ya sa ambil tas dulu.”

      “Iya iya, Put.” kak Jerry mengangguk.


Tiba-tiba Papa muncul dan menyapa kami berdua.


      “Siapa yang datang Put?” tanya Papa.

      “Eh Papa, ini kak Jerry datang mo jemput sa.” jawabku.

      “Selamat sore, Om.” sambung kak Jerry sambil menyalim tangan Papa.

      “Selamat sore juga, Jer. Silahkan duduk.”



Papa menemani Jerry di ruang tamu. Entah apa yang mereka perbincangkan, aku langsung bergegas mengambil tasku yang ku tinggalkan di kamar.


      “Oke, let’s go!” aku memotong perbincangan Papa, Jerry dan Mama yang sudah bergabung di ruang tamu.

      “Oke, tapi ingat ya tidak boleh pulang lewat dari jam 9 malam” kata Papa.

      “Siap boss!” balasku sambil memberi hormat seperti sedang hormat bendera.

      “Pamit dulu Om, Tante.” pamit kak Jerry pada Papa dan Mama.

      “Iya, hati-hati. Jangan ngebut-ngebut, itu jalanan bukan sirkuit.” sambung Mama dan kamipun tertawa kecil sambil berlalu.


Begitulah Papa dan Mamaku yang sedikit possesif dalam menjaga anak tunggal mereka yang satu ini. Dan begitulah aku dan kak Jerry yang sudah beberapa bulan terakhir sering menghabiskan akhir pekan dengan jalan-jalan yang selalu ku tuangkan didalam buku harianku seperti makalah tugas
sekolah yang harus kujelaskan secara rinci.



----



Semakin hari aku semakin menyadari bahwa aku bukan lagi sekedar mengagumi kak Jerry. Tapi aku jatuh cinta. Ya, aku jatuh cinta untuk pertama kalinya. Terdengar norak ataupun terlihat cupu aku tak peduli. Ini benar-benar aku rasakan. Untuk pertama kalinya pula aku merasakan hatiku yang jatuh begitu dalam karena sikapnya yang lembut terhadapku, menjadi pendengar yang sangat setia dan selalu ada disaat aku membutuhkan tempat untuk meluapkan setiap perasaan apapun didalam hatiku. Tak bisa ku deskripsikan dengankata-kata setiap hal yang selalu membuatku terkagum-kagum pada kekuatan cinta, walau tak terucap sedikitpun kata ‘I love you’ yang ingin ku dengar dari mulutnya.


Semua tak berlangsung lama. Kekhawatiranku mulai muncul ketika menjelang kelulusan sekolah kak Jerry dan teman-temannya. Ditambah lagi aku tahu bahwa kak Jerry akan melanjutkan sekolahnya ke salah satu Perguruan Tinggi yang ada di Jakarta. Itu artinya kita akan terpisah jarak dan waktu.
Ingin kusebut ‘Long Distance Relationship’ tapi aku sadar aku dan kak Jerry tak sedang pacaran. Namun dengan semua yang telah kita lewati, apa aku pantas menganggap kita pacaran? Entahlah. Aku terjerumus kedalam dilema yang benar-benar tak bisa ku hindari. Apa harus aku yang menanyakannya? Tapi aku tak punya nyali untuk melakukan hal itu. Tapi perasaanku, bagaimana dengan perasaanku yang sudah terlanjur mencintainya?


Hingga akhirnya kak Jerrypun pergi ke Jakarta. Tanpa ada kata berpisah yang ku dengar darinya. Sesuatu yang hebat mengguncang hatiku. Pedih. Teriris. Tak bisa ku jelaskan. Apa ini yang namanya sakit hati? Apa ini yang disebut luka tak berdarah? Itu yang ku rasakan. Entah apa salahku, apa yang
membuatnya menghilang. Yang aku tahu aku benar-benar merasa sepi dan sendiri. Lalu ku buka buku harianku tepat pada lembar yang terakhir.


            “Dear diary..

             Aku tak mengerti apa yang tengah aku rasakan.
             Perasaan yang bahkan aku sendiri tak tahu bagaimana ku jelaskan.
             Apa aku hanya seorang Putri yang lemah? Putri yang cupu?
             Atau aku hanya Putri yang aneh? Tak pantaskah aku dicintai?
             Mengapa cinta menjatuhkanku pada orang yang salah?
             Apa dia salah? Atau aku yang salah menilainya?
             Sesempurna itu dia dimataku? Namun aku hanyalah sepenggal kisah baginya.
             Aku hanya remaja bodoh yang tak paham dengan cinta.
             Ataukah cinta yang mempermainkanku?
             Sekejam itukah cinta?”


Lalu aku menutup buku harianku dan terlelap bersama pelukan hangat kisah tentang kak Jerry yang tak pernah ku lewatkan tertuang didalam buku itu.



~~~~~~~~~~



Jayapura, 2019.

“Sayang...” bisik dia lembut menyadarkanku dari lamunan.

“Eh Revaaaaaaaaannnn bikin kaget saja ko ini!”

“Kenapa juga melamun sore-sore begini? Baper kah karna hujan? Hahaha.” Revan
menyolek pipiku.

“Su daritadi disini?” tanyaku yang sedikit cemas apakah Revan melihatku sedaritadi.

“Belum, baru sampe juga ini. Tadi Mama bilang katanya ko lagi santai di teras belakang, 
  makanya sa kesini.” jawabnya.

“Oh. Iya, ini lagi duduk-duduk saja nikmati suara hujan tau-taunya sudah berhenti hujannya  hahaha.” balasku sedikit kaku. Salah tingkah.

“Ya sudah. Trus sudah makan? Bagemana undangan nikahan kita? Sudah tentukan yang mau dipake?” lanjutnya.

“Sudah sudah.. Sabar sa ambil laptop mo kasih lihat.”




----



YUP!

Revan. Kak Revan si ketua OSIS teman kelas kak Jerry. Kak Revan yang saat ini sangat aku cintai tanpa takut untuk kehilangan. Kak Revan yang sebentar lagi akan menjadi pendamping hidupku selamanya.


Kak Jerry dulu pernah menjadi alasanku terkagum-kagum pada cinta. Dia memberi kebahagiaan, keindahan sekaligus luka yang pahit aku rasakan. Cinta pertama yang takkan aku lupakan, hanya akan ku kenang. Tak bisa aku dustai bahwa yang pertama dihatiku akan selalu membekas. Tapi tak bisa juga ku pungkiri bahwa yang terakhir menjadi tempat hatiku berlabuh adalah dia yang benar-benar Tuhan kirimkan padaku.


Jika saat ini aku diberi kesempatan untuk bertemu kak Jerry, aku ingin berterima kasih padanya. Karena semua perasaan bahagia hingga luka yang dia berikan membuat aku sadar bahwa ‘tak selamanya cinta harus memiliki’ itu benar adanya. Aku memang tak pernah mendengar ungkapan perasaannya padaku yang terucap langsung dari bibirnya. Tapi dengan semua yang  kita lewati bersama sudah cukup membuatku mengerti apa itu cinta. Indahnya dan juga sakitnya. Sulit bagiku saat melewati masa-masa sendiriku setelah dia pergi ke Jakarta. Tapi aku masih punya kedua sahabat yang selalu mendukung.


Itulah cinta. Cinta yang dulu sempat aku salahkan, namun ternyata kembali membawaku terbang tinggi merasakan indah yang teramat sangat nyata melalui sosok Revan yang sebelumnya tak pernah terpikirkan olehku.




^_^




























No comments